Minggu, 18 Desember 2011

perdata perkawinan


BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Perkawinan merupakan Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai Sumi Istri dalam  Pasal 1 UUP, yang memiliki tujuan membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdaserkan ketuhanan yang maha esa. Dalam kenyataannya, berdasarkan pengamatan, tujuan perkawinan itu banyak juga yang tercapai secarah tidak utuh. yaitu baru mengenai pembentukan keluarga atau pembentuk rumah tangga, karena dapat diukur secara kuantitatif. Sedangkan predikat bahagia dan keal belum, bahkan tidak tercapai sama sekali. Hal ini terbukti dari banyaknya terjadi perceraian.

2. Rumusan Masalah
1        Pengertian
2        Tujuan dan Asas
3        Bentuk-bentuk perkawinan
4        Prosedur
5        Hubungan hukum
6        Harta perkawinan
7        Putusnya perkawinan
8        Penyelesaian sengketa









BAB II
 PEMBAHASAN
A.      Pengertian Perkawinan
Menurut ketentuan Pasal 1 Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.[1]
Perkawinan berdasarkan ketuhanan yang maha Esa, artinya perkawinan tidak tejadi begitu saja menurut kemauan sendiri, melainkan sebagai karunia tuhan kepada manusia sebagai makhluk yang beradab.

B.       Syarat-syarat Perkawinan
Syarat Perkawinan adalah segala hal mengenai perkawinan yang harus dipenuhi menurut undang-undang. Masalah ini diatur dalam bab II. UU. No. 1 thn. 1974 dan secara berturut-turut termaktub dalam pasal 6 sampai 12.
Ada Dua Macam Syarat-syarat Perkawinan:
1        Syarat Material, artinya Syarat yang ada dan melekat pada diri pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, disebut juga ( Syarat Subjektif ).
            Maksudnya syarat-syarat tersebut bersifat Mutlak (Absolut), atau Nisbi (Relatif).
2        Syarat Formal, artinya Tatacara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan Undang-undang, disebut juga ( Syarat Objektif ).[2]

UU secara lengkap mengatur syarat-syarat perkawinan baik yang menyangkut orangnya, kelengkapan administrasi, prosedur pelaksanaanya dan mekanismenya. Adapun syarat-syarat yang dititik beratkan kepada orangnya diatur dalam undang-undang sebagai berikut.[3]
1)      Perkawinan harus didasarkan atas Persetujuan kedua calon mempelai.
Menurut ketentuan pasal 6 ayat 1 UUP, Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Artinya kedua calon mempelai sepakat untuk melangsungkan perkawinan, tanpa ada paksaan dari pihak mana pun juga.
2)      Menurut ketentuan pasal 6 ayat 2 UUP, Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun, harus mendapat izin dari kedua orang tuanya. karena mereka yang belum berumur 21 tahun adalah belum dewasa menurut hukum.
3)      Menurut ketentuan pasal 6 ayat 3 UUP, Bila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin itu cukup  diperoleh dari orang tuanya yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4)      Menurut ketentuan pasal 6 ayat 4 UUP, Bila kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5)      Menurut ketentuan pasal 6 ayat 5 UUP, bila dalam ketentuan ayat 2, 3, dan 4, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak dapat menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin.
6)      Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Di samping itu undang-undang juga mengatur tentang persyaratan umur minimal bagi calon suami atau istri serta beberapa alternatif lain untuk mendapatkan jalan keluar apabila ketentuan umur minimal tersebut belum terpenuhi.
Menurut ketentuan Pasal 7 Ayat 1 UUP,
1)      Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan dari pihak wanita sudah mencapai 16 tahun. Batas umur ini ditetapkan untuk menjaga kesehatan suami isteri. Sementara itu, dalam hal adanya alasan-alasan yang penting, presiden berkuasa meniadakan larangan ini dengan memberikan depensasi.
2)      Menegaskan bahwa, hal berlainan agama dari bakal istri dan suami tidak akan menjadi halangan untuk menyelenggarakan perkawinan percampuran ini.[4]

Dalam kitab undang-undang hukum perdata pasal 27 disebutkan seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai satu istri, dan sebaliknya. Dan dalam pasal 29 disebutkan seorang jejaka yang belum mencapai umur 18 tahun, dan seorang gadis belum mencapai umur 15 Thn, tidak diperbolehkan mengikat dirinya dalam perkawinan. Tapi bila ada alasan-alasan yang penting, presiden berkuasa meniadakan larangan ini dengan memberikan dispensasi.[5]
Menurut ketentuan pasal 8 UUP, Perkawianan dilarang antara dua orang yang:
1        Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas atau kebawah.
2        Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping
3        Berhubunagan semenda.
4        Berhubungan susuan.
5        Berhubungan  saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri,
6        Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Syarat Perkawinan Poligami
Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seoarang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, artinya suami menghendaki perkawinan dengan wanita lain, sedangkan istri tidak keberatan atas perkawinan tersebut.[6]
Pasal 4 ayat 2 UUP menetapkan Alasan-alasan yang harus dipenuhi oleh suami apabila ia akan kawin lagi dengan wanita lain:
1        Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
2        Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3        Istri tidak dapat memberikan keturunan.
Apabila salah satu alasan diatas ini dipenuhi, maka suami harus memenuhi syarat-syarat yang ditertapkan dalam pasal 5 UUP, yang besifat kumulatif, artinya semua syarat harus dipenuhi, yaitu:
1        Adanya persetujuan Istri.
2        Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
3        Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

             Poligami jika dikaitkan dalam konteks agama (agama islam), memang memperbolehkan bentuk perkawinan poligami, yang dalam hal ini diatur dalam UU No. 1 Thn. !974 tentang perkawinan dan kompilasi hukum islam.[7]
Tentang hal larangan untuk kawin dapat diterangkan bahwa seorang tidak diperbolehkan kawin dengan saudaranya, meskipun saudara tiri, dan seorang tidak diperbolehkan kawin dengan iparnya, seorang paman dilarang kawin dengan keponakannya, dan sebagainya.
             Tentang hal izin dapat diterangkan bahwa kedu orang tua harus memberikan izin, atau ada kesapakatan antara ayah dan ibu, kalau kedua orang tua sudah meninggal, yang memberikan izin adalah kakek atau nenek, baik dari pihak ayah maupun ibu.
             Untuk anak yang lahir diluar perkawinan, tetapi diakui oleh orang tuanya, berlaku pokok aturan yang sama dengan izin. Kecuali tidak ada kata sepakat antara kedua orang tua, hakim dapat diminta campur tangan, dan kakek atau nenek tidak mnjadi wali dalam hal memberikan izin.[8]
              
B. Hak dan Kewajiban Suami Istri
            Suami dan Istri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat (Pasal 31 ayat 1 UUP).
Suami dan Istri sama-sama berhak melakukan perbuatan hukum (Pasal 31 ayat 2 UUP).
            Suami Istri mempunyai kesempatan yang sama untuk mengajukan gugatan kepada pengadilan apabila ada yang melalaikan kewajibannya (Pasal 34 ayat 3 UUP).
            Suami dan Istri berkewajiban luhur menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat (pasal 30 UUP).
            Suami dan Istri mempunyai tempat kediaman yang tetap yang ditentukan oleh keduanya (Pasal 32 UUP).
            Suami dan Istri wajib saling Cinta-mencintai, Hormat-menghormati, setia, memberi bantuan lahir batin antara satu sama lain (Pasal 33 UUP).
            Suami dan Istri wajib memelihara dan mendidik anak-anak, sampai anak-anak itu dapat berdiri sendiri atau kawin (pasal 45 UUP).[9]

C. Percampuran Harta Kekayaan
Harta benda yang dibawa kedalam perkawinan atau yang diperoleh sendiri ketika dalam perkawinan, suami istri berhak atas masing-masing hartanya, dan selebihnya menjadi harta milik bersama. Adakalanya mereka membuat surat perjanjian kawin yang menyebutkan mengenai harta perkawinan mereka, dan perjanjian ini harus disebutkan dalam akta perkawinan.[10]
Menurut Miftachul Akhyar,[11] saat jadi pembicara seminar di Rektorat IAIN Sunan Ampel Surabaya, tentang sita marital perspektif hukum perdata dan Hukum Islam, mengatakan bahwa dalam pandandangan fiqih, kepemilikan harta suami dan istri dalam masa perkawinan tdak terlepas tiga katagori, yaitu:
1.      Harta Milik Suami Saja, yaitu harta yang dimiliki oleh suami tanpa kepemilikan istri pada harta itu. Misalnya harta yang diperoleh dari hasil kerja suami dan tidak diberikan sebagai nafkah kepada istrinya, atau harta yang dihibahkan oleh orang lain kepada suami secara khusus, atau harta yang diwariskan kepada suami.
2.      Harta Milik Istri Saja, yaitu harta yang dimiliki oleh istri tanpa kepemilikan suami pada harta tersebut. Mislanya harta hasil kerja yang diperoleh dari hasil kerja istri, atau harta yang dihibahkan oleh orang lain khusu untuk istri, atau harta yang diwariskan kepada istri.
3.      Harta Milik Bersama Suami-Istri. Misalnya harta yang dihibahkan oleh seseorang kepada suami istri, atau harta benda yang dibeli oleh suami istri dari uang berdua (patungan).

Kemudian beliau mengungkapkan bahwa kepemilikan harta bersama ini disebut dengan istilah ssyirkah amlak, yaitu kepemilikan bersama atas suatu benda (syirkah al-‘ain). Harta katagori inilah yang disebut dengan istilah harta harta gono-gini (harta bersama).
Sedang menurut Hukum Adat, harta bersama dalam perkawinan adalah harta lepasan atau pecahan dari harta kerabat yang mengurung keluarga baru tersebut. Misalnya dalam adat Aceh, harta bersama dikenal dengan istilah hareuta sihareukat. Dalam adat Bali disebut gunakaya, dan dalam adat Jawa dikenal dengan nama gono-gini. Unsur-unsur harta dari harta bersama menurut Hukum Adat adalah semua harta yang dihasilkan oleh suami isteri selama perkawinan dan harta yang diberikan kepada keduanya ketika menikah.
Apabila kita melihat peraturan yang mengatur tentang harta perkawinan, kita dapat mengkaji  dalam pasal 35 Undang-undang Perkawinan no. 1  tahun 1974.
1        Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2        Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain, Apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing.

Selanjutnya Pasal 36 ayat 1 mengatur mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedangkan Pasal 36 ayat 2 mengatur bahwa mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Dari bunyi aturan tersebut dapat diketahui, bahwa yang berhak mengatur harta bersama dalam perkawinan adalah suami dan istri. Dengan demikian salah satu pihak tidak dapat meninggalkan lainnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bersama dalam perkawinan, karena kedudukan mereka seimbang yaitu sebagai pemilik bersama atas harta bersama itu.[12]
Kemudian Pasal 37 menjelaskan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Pasal 37 ini mengindikasikan bahwa ketika terjadi perceraian, harta bersama yang diperoleh oleh pasangan suami isteri selama perkawinan dapat diatur dengan menggunakan aturan yang berbeda-beda tergantung pada variasi hukum adat atau hukum lain di luar hukum adat.

Perlu diketahui bahwa Pasal 35-37 di atas disusun berdasarkan pada nilai-nilai umum yang muncul dalam aturan adat tentang harta bersama, yaitu:
1)       Masing-masing pihak dalam perkawinan memiliki hak untuk mengambil keputusan terhadap harta yang mereka peroleh sebelum nikah.
2)       Dengan ikatan perkawinan, isteri maupun suami secara intrinsik memiliki posisi yang setara terkait dengan kekayaan keluarga terlepas pihak mana yang sebenarnya mengusahakan aset tersebut.[13]

Dari peraturan ini kita akan memperoleh pengertian bahwa dalam perkawinan dikenal dua macam kategori harta yaitu Harta Bawaan (Pasal 35 ayat 2) misalnya ; Pemberian, Warisan. Dan Harta Bersama (Pasal 35 ayat 1) yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung.
Terhadap harta bawaan, Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 mengatakan bahwa masing-masing pihak mempunyai hak dan untuk mengaturnya sendiri-sendiri. Karena itu harta bawaan tidak dimasukan kedalam harta bersama dalam perkawinan.
Dalam Burgelijk Wetboek diatur masalah harta bersama dalam perkawinan. Pasal 119 BW menyatakan bahwa mulai sejak terjadinya ikatan perkawinan, harta kekayaan yang dimiliki suami secara otomatis disatukan dengan yang dimiliki isteri. Penyatuan harta ini sah dan tidak bisa diganggu gugat selama perkawinan tidak berakhir akibat perceraian atau kematian. Namun, kalau pasangan suami isteri sepakat untuk tidak menyatukan harta kekayaan mereka, mereka dapat membuat perjanjian di depan notaris sebelum perkawinan dilangsungkan, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 139-154 BW. Adapun berkaitan dengan pembagian harta bersama, Pasal 128 BW menetapkan bahwa kekayaan-bersama mereka dibagi dua antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dari pihak mana asal barang-barang itu.[14]

Dalam kenyataannya jika terjadi pembagian harta bersama karena perceraian, masing-masing pihak akan mendapatkan separoh dari harta bersama. Tetapi ketentuan tersebut bukanlah sesuatu yang baku dan keharusan, sebab masing-masing pihak dapat pula dengan kesepakatan membagi harta bersama tersebut menurut kehendaknya sendiri. Dengan kesepakatan itulah mereka terikat dan boleh mengesampingkan peraturan yang ada.

Kemudian bagaimanakah dengan persoalan tentang hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung? Karena prinsip harta perkawinan adalah harta bersama yang dimiliki oleh suami dan istri, maka hutang pun adalah merupakan kewajiban mereka bersama untuk melunasinya.
Menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam pasal 35 (1) dan pasal 36 (1), undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 memberikan kelonggaran kepada suami/istri untuk mengatur tentang harta bersama dalam perkawinan.

D. Perjanjian perkawinan.
Menurut ketentuan pasal 29 undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974, yaitu:[15]
1        Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2        Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
3        Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4        Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.


Dari ketentuan dalam pasal 29 tersebut kita dapat mengetahui tentang perjanjian perkawinan itu boleh dibuat sebelum  dilangsungkannya perkawinan karena untuk memberi kepastian hukum dan perlindungan bagi pihak ketiga dari etikat jelek para pihak dalam perjanjian perkawinan. Masa berlaku perjanjian perkawinan yaitu selama perkawinan berlangsung. Perjanjian perkawinan itu dapat dirubah selama perkawinan berlangsung, sepanjang ada kesepakatan para pihak dan tidak merugikan pihak ketiga. Perjanjian perkawinan mengikat untuk pihak ketiga yang terkait, bila perjanjian tersebut dibuat sebelum perkawinan berlangsung.
Perjanjian perkawinan telah mengatur masalah kepemilikan akan harta dalam perkawinan, maka sebagai konsekuensinya adalah para pihak akan mengatur hartanya masing-masing selama perkawinan berlangsung. Dengan demikian, seandainya ada hutang yang dibuat salah satu pihak, tidak membebani pihak lainnya untuk melunasinya, maksudnya jika suami berhutang kepada pihak ketiga maka suamilah yang bertanggung jawab melunasinya dan pihak ketiga tidak dapat melakukan tagihan kepada istri. Demikian sebaliknya. Dan Perjanjian perkawinan dapat dicabut atau dibatalkan oleh para pihak selama perkawinan berlangsung, dan bila hal itu terjadi maka berlakulah ketentuan-ketentuan harta bersama dalam perkawinan.











[1] Ikatan Lahir adalah hubungan fomal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut undang-undang, yang mengikat kedua pihak dan pihak lain dalam masyarakat. Sedangkan Ikatan Batin adalah hubungan yang tidak formal yang dibentuk dengan kemauan bersama-sama yang sungguh-sungguh, yang mengikat kedua pihak saja.
[2] Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Rajawali Pers, Jakarta. Hal. 51
[3] Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Melton Putra, Jakarta. Hal. 40
[4] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Antar Golongan, Bale Bandung. Hal 122
[5] Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta. Hal 8
[6] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Hal. 82
[7] Warneri putera, Pembagian Harta Benda Perkawinan Akibat Perceraian Dalam Perkawinan Poligami, Tesis Megister Kenotariatan Universitas Padjadjaran, Bandung. Hal. 52.
[8] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Andi Offset, Yogyakarta. Hal.24 
[9] Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Hal. 236
[10] Drs. Rudy Terwin, Petunjuk Praktis Menyelesaikan Perkara-Perkara Perdata, Bina Aksara, Jakarta. Hal. 89
[11] Makalah tentang Sita Marital yang disampaikan oleh Miftachu Akhyar, dalam seminar “Sita Marital Dalam Perspektif Hukum Perdata Dan Hukum Islam”, di Rektorat IAIN Sunan Ampel Surabaya, tahun 2008
[12] Soedharyo Soimin, Himpunan Yurisprudensi Tentang Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta
[13] Wignjodipuro, Surojo, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, Edisi II, (t.tp: t.n.p, 1973)
[14] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Kencana Prenada. Jakarta. Hal. 109
[15] Undang-undang Perkawinan Indonesia. Hal. 9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar