Minggu, 18 Desember 2011

Nilai-Nilai Universal Teori Ekonomi Islam


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Nilai-Nilai Universal  Ekonomi Islam
Periode kenabian biasa dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Masing-masing periode mempunyai karakteristik tersendiri menyangkut ayat-ayat yang diturunkan dan syariat yang dibangun. Periode Makkah lebih menitikberatkan pada pembangunan akidah monoteisme (tauhid) dan revitalisasi perilaku mulia (`khlaqul karimah). Periode Madinah merupakan periode pembangunan syari’at ibadah dan aturan-aturan kemasyarakatan. Beberapa tokoh menyebut corak ajaran Islam pada periode Makkah bersifat universal dan pada periode Madinah sebaliknya.
Diturunkannya ayat-ayat ekonomi ini pada periode awal kenabian menunjukkan bahwa misi kenabian di samping berisi ajakan menyembah Allah Yang Esa juga terkait dengan etika berekonomi yang intensitasnya tidak kurang dari intensitas ayat-ayat tauhid. Semangat inilah yang kelak menghasilkan terbentuknya masyarakat Islam di Madinah dengan berbagai aturan-aturan teknis pelaksanaan nilai-nilai ekonomi universal yang telah digagas pada periode Makkah.
Etika universal berarti bahwa etika tersebut dapat diterima di segala zaman dan tempat atau shalihun li kulli zaman wa makan. Etika ekonomi yang terkandung dalam ayat-ayat Makkiyah merupakan etika yang dapat diterima sepanjang masa dan oleh umat manapun. Kebenaran ayat-ayat ekonomi tidak hanya dapat diterima dengan semangat keimanan (religious commitment) tetapi dapat dibuktikan dengan menggunakan nalar sekuler (secular reason)[1].

Nilai-nilai universal yang menjadi dasar inspirasi untuk mengembangkan teori Ekonomi Islam. Rincian dari nilai-nilai universal tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Tauhid (Keesaan Tuhan)
Cerminan watak “Ketuhanan” ekonomi islam adalah pada aspek aturan yang harus dipedomani oleh para pelaku ekonomi. Karena hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa semua faktor ekonomi termasuk diri manusia pada dasarnya adalah milik Allah dan kepada-Nya lah dikembalikan segala urusan[2].  
Tauhid merupakan fondasi ajaran Islam. Muhammad (2000: 19-21) bahwa tauhid itu yang membentuk 3 (tiga) asas pokok filsafat Ekonomi Islam, yaitu:
Pertama, dunia dengan segala isinya adalah milik Allah Swt dan berjalan menurut kehendak-Nya (QS. Al-Ma’idah: 20, QS. Al-Baqarah: 6) Manusia sebagai khalifah-Nya hanya mempunyai hak  khilafat dan tidak absolut, serta harus tunduk melaksanakan hukum-Nya, sehingga mereka yang menganggap kepemilikan secara tak terbatas berarti ingkar kepada kekuasaan Allah Swt. Implikasi dari status kepemilikan menurut Islam adalah hak manusia atas  barang atau jasa itu terbatas. Hal ini jelas berbeda dengan kepemilikan mutlak oleh individu pada Sistem Kapitalis dan oleh kaum proletar pada Sistem Marxisme. 
Kedua, Allah Swt. adalah pencipta semua makhluk dan semua makhluk tunduk kepada-Nya (QS. Al-An’am: 142-145, QS. An-Nahl: 10-16, QS. Faathir: 27-29, QS. Az-Zumar: 21). Dalam Islam , kehidupan dunia hanya dipandang sebagai ujian, yang akan diberikan ganjaran dengan surga yang abadi. Inilah ganjaran  atas usaha-usaha dunia yang terbatas. sebagai sesuatu yang sifatnya non moneter, yang tidak dapat dijadikan dan diukur dengan sesuatu  yang pasti, dan ini sulit untuk dimasukkan ke dalam analisis Ekonomi Konvensional (Tarek El-Diwany, 2003: 160). Sedangkan ketidakmerataan karunia nikmat dan kekayaan yang diberikan Allah kepada setiap makhluk-Nya merupakan kuasa Allah Swt. semata. Tujuannya adalah agar mereka yang diberi kelebihan sadar menegakkan persamaan masyarakat (egalitarian) dan bersyukur kepada-Nya (QS. Al-Ma’un: 1-7, QS. Al-Hadiid: 7), persamaan dan persaudaraan dalam kegiatan ekonomi, yakni syirkah dan qirad atau bagi hasil (QS. Al-Baqarah: 254, QS. Al-Ma’idah: 2). Doktrin egalitarianisme Islam seperti itu berbeda dengan sistem ekonomi materialistik, hedonis yang proletar sosialistik dan marxisme.
Ketiga, Iman kepada Hari Kiamat akan mempengaruhi tingkah laku ekonomi manusia menurut  horizon waktu. Seorang muslim yang melakukan aksi ekonomi tertentu  akan mempertimbangkan akibatnya pada Hari Kemudian. Menurut dalil ekonomi, hal ini mengandung maksud   56dalam memilih kegiatan ekonomi dengan menghitung nilai sekarang dan hal yang akan dicapai di masa yang akan datang. Hasil kegiatan mendatang ialah semua yang diperoleh, baik sebelum maupun sesudah mati atau extended time horizon, (QS. Al-Qiyamah: 1-10, QS. Al-Zalzalah: 1-8).[3]

2.    ‘Adl (Keadilan)   
Allah adalah pencipta segala sesuatu, dan salah satu sifat-Nya adalah adil. Dia tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap makhluk-Nya secara zalim. Manusia sebagai khalifah di muka bumi harus memelihara hukum Allah di bumi, dan menjamin bahwa pemakaian segala sumber daya diarahkan untuk kesejahteraan manusia, supaya semua mendapat manfaat dari padanya secara adil dan baik.
Dalam banyak ayat, Allah memerintahkan manusia untuk berbuat adil. Islam mendefinisikan adil sebagai "tidak menzalimi dan tidak dizalimi". Implikasi ekonomi dari nilai ini adalah bahwa pelaku ekonomi tidak dibolehkan untuk mengejar keuntungan pribadi bila hal itu merugikan orang lain atau merusak alam. Tanpa keadilan, manusia akan terkelompok-kelompok dalam berbagai golongan. Golongan yang satu akan menzalimi golongan yang lain, sehingga terjadi eksploitasi manusia atas manusia. Masing-masing berusaha mendapatkan hasil yang lebih besar dari pada usaha yang dikeluarkannya karena kerakusannya.

3.    Nubuwwah (Kenabian)
Karena rahman, rahim dan kebijaksanaan Allah Swt., manusia tidak dibiarkan begitu saja di dunia  tanpa mendapat bimbingan. Karena itu diutuslah para nabi dan rasul untuk menyampaikan petunjuk Allah Swt. kepada manusia tentang bagaimana hidup yang baik dan benar di dunia, dan mengajarkan jalan untuk kembali (taubah) keasal-muasal segala sesuatu, yaitu Allah Swt.
Fungsi rasul adalah untuk menjadi model terbaik yang harus diteladani manusia agar mendapat keselamatan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, muslim juga percaya terhadap rasul-rasul yang patut mendapatkan ‘penghormatan’, seperti Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa yang sama juga dengan Muhammad. Makanya, tidak mengherankan jika kita temukan penganut agama selain Islam yang memiliki prinsip sama dengan prinsip Islam, seperti misalnya dalam pengenaan haramnya ‘bunga’ (Tarek El-Diwany, 2003: 161). Namun, untuk umat Islam sendiri, Allah Swt. telah mengirimkan ‘manusia model’ yang  terakhir dan sempurna untuk diteladani sampai akhir zaman, Nabi Muhammad Saw. Sifat-sifat utama sang model yang harus diteladani  oleh manusia pada umumnya dan pelaku ekonomi dan bisnis pada khususnya adalah:
Karena rahman, rahim dan kebijaksanaan Allah, manusia tidak dibiarkan begitu saja di dunia tanpa mendapat bimbingan. Karena itu diutuslah para nabi dan rasul untuk menyampaikan petunjuk dari Allah kepada manusia tentang bagaimana hidup yang baik dan benar di dunia, dan mengajarkan jalan untuk kembali (taubah) ke asal-muasal segala, Allah. Fungsi rasul adalah untuk menjadi model terbaik yang harus diteladani manusia agar mendapat keselamatan di dunia dan akhirat. Untuk umat muslim, Allah telah mengirimkan "manusia model" yang terakhir dan sempurna untuk diteladani sampai akhir zaman, Nabi Muhammad saw. Sifat-sifat utama sang model yang harus diteladani oleh manusia pada umumnya dan pelaku ekonomi dan bisnis pada khususnya, adalah sebagai berikut:
a.    Siddiq (Benar, Jujur)  
Sifat siddiq harus menjadi visi hidup setiap muslim, karena hidup kita berasal dari Yang Maha Benar, maka kehidupan di dunia pun harus dijalani dengan benar, supaya kita dapat kembali pada pencipta kita, Yang Maha Benar. Dengan demikian tujuan hidup muslim sudah terumus dengan baik Dari konsep sidq ini, muncullah konsep turunan khas ekonomi dan bisnis, yakni efektifitas (mencapai tujuan yang tepat, benar) dan efisiensi (melakukan kegiatan dengan benar, yakni menggunakan teknik dan metode yang tidak menyebabkan kemubaziran. Karena kalau mubazir berarti tidak benar).
b.   Amanah (Tanggung jawab, Kepercayaan, Kredibilitas)
Amanah menjadi misi hidup setiap muslim. Karena Sang Benar hanya dapat kita jumpai dalam keadaan ridha dan diridhai, bila kita menepati amanat yang telah dipikulkan kepada kita. Sifat ini akan membentuk kredibilitas yang tinggi dan sikap penuh tanggung jawab pada setiap individu muslim. Kumpulan individu dengan kredibilitas dan tanggung jawab yang tinggi akan melahirkan masyarakat yang kuat, karena dilandasi oleh saling percaya antar anggotanya. Sifat amanah memainkan peranan yang fundamental dalam ekonomi dan bisnis, karena tanpa kredibilitas dan tanggung jawab, kehidupan ekonomi dan bisnis akan hancur.
c.    Fathanah (Kecerdikan, Kebijaksanaan, Intelektualita)
Sifat ini dapat dipandang sebagai strategi hidup setiap muslim. Karena untuk mencapai Sang Benar, kita harus meng-optimalkan segala potensi yang telah diberikan oleh-Nya. Potensi paling berharga dan termahal yang hanya diberikan pada manusia adalah akal (intelektualita). Karena itu Allah dalam al-Qur’an selalu menyindir orang-orang yang menolak seruan untuk kembali (taubat) kepada-Nya dengan kalimat "Apakah kamu tidak berfikir? Apakah kamu tidak menggunakan akalmu?" Dan orang yang paling bertakwa justru adalah orang yang paling mengoptimalkan potensi fikirnya. Bahkan peringatan yang paling keras adalah "dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya".
Implikasi ekonomi dan bisnis dari sifat ini adalah bahwa segala aktivitas harus dilakukan dengan ilmu, kecerdikan dan pengoptimalan semua potensi akal yang ada untuk mencapai tujuan. Jujur, benar, kredibel dan bertanggung jawab saja tidak cukup dalam berekonomi dan berbisnis. Para pelaku harus pintar dan cerdik supaya usahanya efektif dan efisien, dan agar tidak menjadi korban penipuan. Bandingkan ini dengan konsep manajemen work hard vs work smart. Dalam ekonomi Islam tidak ada dikotomi ini, karena konsepnya work hard and smart.
d.   Tabligh (Komunikasi, Keterbukaan, Pemasaran)
Sifat ini merupakan taktik hidup muslim. Karena setiap muslim mengemban tanggung jawab da’wah, yakni menyeru, mengajak, memberitahu. Sifat ini bila sudah mendarah daging pada setiap muslim, apalagi yang begerak dalam bidang ekonomi dan bisnis, akan menjadikan setiap pelaku ekonomi dan bisnis sebagai pemasar-pemasar yang tangguh dan lihai. Karena sifat tabligh menurunkan prinsip-prinsip ilmu komunikasi (personal maupun massal), pemasaran, penjualan, periklanan, pembentukan opini massa, open management, iklim keterbukaan, dan lain-lain.
Dengan demikian, kegiatan ekonomi dan bisnis manusia harus mengacu pada prinsip-prinsip yang telah diajarkan oleh nabi dan rasul. Nabi misalnya mengajarkan bahwa "Yang terbaik di antaramu adalah yang paling bermanfaat bagi manusia". Dengan kata lain, bila kita ingin "menyenangkan Allah", maka kita harus menyenangkan hati manusia. Prinsip ini akan melahirkan sikap profesional, prestatif, penuh perhatian terhadap pemecahan masalah-masalah manusia, dan terus menerus mengejar hal yang terbaik sampai menuju kesempurnaan. Karena hal yang demikian dianggap sebagai cerminan dari penghambaan (ibadah) manusia terhadap penciptanya.
Bila ekonom muslim akan menyusun teori dan proposisinya, maka hal yang harus menjadi pegangan adalah bahwa semua yang datang dari Allah dan Rasul-Nya pasti benar. Bila ada hal-hal yang tidak dapat dipahami oleh manusia dengan akalnya, maka menjadi tugas manusia untuk terus berusaha menemukan kebenaran tersebut dengan cara apapun.

4.    Khilafah (Pemerintahan)
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman bahwa manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di bumi, artinya untuk menjadi pemimpin dan pemakmur bumi[4]. Karena itu pada dasarnya setiap manusia adalah pemimpin. Nabi bersabda: "Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya". Ini berlaku bagi semua manusia, baik dia sebagai individu, kepala keluarga, pemimpin masyarakat atau kepala negara. Nilai ini mendasari prinsip kehidupan kolektif manusia dalam Islam (siapa memimpin siapa). Fungsi utamanya adalah agar menjaga keteraturan interaksi (mu’amalah) antar kelompok—termasuk dalam bidang ekonomi--agar kekacauan dan keributan dapat dihilangkan, atau dikurangi. Firman Allah swt dalam al-Qur’an: "(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka…menyuruh berbuat baik dan mencegah dari perbuatan jahat.
Dalam hadits lainnya Nabi bersabda: "Berakhlaqlah kalian seperti akhlaq Allah!" Akhlaq Allah diajarkan kepada manusia lewat al-asma al-husna-Nya (nama-namaNya yang terbaik). Jadi misalnya jika Allah bersifat al-Waliy (Maha Pemelihara), maka implikasi ekonomi dari berakhlaq seperti waliy adalah mengelola dan memelihara sumber daya dengan baik supaya bermanfaat bagi manusia generasi kini sampai generasi-generasi selanjutnya. Implikasi ekonomi dari berakhhlaq seperti al-Razzaaq (Maha Pemberi Rizki) adalah menjamin kecukupan hidup (kebutuhan dasar) bagi semua manusia. Implikasi dari al-Fattaah (Maha Pembuka): membuka kesempatan bekerja, menciptakan iklim bisnis yang sehat, membuka akses manusia terhadap ilmu untuk meningkatkan kualitas manusia. Implikasi dari al-Wahhaab (Maha Pemberi): membangun sistem jaminan sosial yang tangguh, pelayanan pendidikan dan kesehatan yang memadai bagi masyarakat. Implikasi sifat al-Malik al-Mulk (Maha Penguasa): menginvestasikan sumber daya secara bijak supaya membawa manfaat sebesar-besarnya bagi semua. Ini semua merupakan tugas dan tanggung jawab yang harus dipikul oleh negara/pemerintah.
Dalam Islam, pemerintah memainkan peranan yang kecil tetapi sangat penting dalam perekonomian. Peran utamanya adalah untuk menjamin perekonomian agar berjalan sesuai dengan syari’ah, dan untuk memastikan supaya tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak manusia. Semua ini dalam kerangka mencapai maqashid al-syari’ah (tujuan-tujuan syari’ah), yang menurut Imam Al-Ghazaliy adalah untuk memajukan kesejahteraan manusia. Hal ini dicapai dengan melindungi keimanan, jiwa, akal, kehormatan dan kekayaan manusia.

5.    Ma’ad (Hasil)
Walaupun seringkali diterjemahkan sebagai "kebangkitan", tetapi secara harfiah ma’ad berarti "kembali". Karena kita semua akan kembali kepada Allah. Hidup manusia bukan hanya di dunia, tetapi terus berlanjut hingga alam setelah dunia (akhirat). Pandangan dunia yang khas dari seorang muslim tentang dunia dan akhirat dapat dirumuskan sebagai: "Dunia adalah ladang akhirat". Artinya, dunia adalah wahana bagi manusia untuk bekerja dan beraktifitas (beramal saleh). Namun demikian, akhirat lebih baik daripada dunia, karena itu Allah melarang kita untuk terikat pada dunia, sebab jika dibandingkan dengan kesenangan akhirat, kesenangan dunia tidaklah seberapa.
Allah menandaskan bahwa manusia diciptakan di dunia untuk berjuang. Perjuangan ini akan mendapatkan ganjaran, baik di dunia maupun di akhirat. Perbuatan baik dibalas dengan kebaikan yang berlipat-lipat, perbuatan jahat dibalas dengan hukuman yang setimpal. Karena itu, ma’ad diartikan juga sebagai imbalan/ganjaran. Implikasi nilai ini dalam kehidupan ekonomi dan bisnis misalnya, diformulasikan oleh Imam Al-Ghazaly yang menyatakan bahwa motivasi para pelaku bisnis adalah untuk mendapatkan laba. Laba dunia dan laba akhirat. Karena itu konsep profit mendapatkan legitimasi dalam Islam[5].






















[1]Nuruddin Mhd Ali,“Universalitas Ekonomi Islam dan Revitalisasi Revolusi Makkah”, dalam http://ekonomiprofetik.wordpress.com/2010/07/13/universalitas-ekonomi-islam-dan-revitalisasi-revolusi-makkah/ (17 oktober 2010)

[2] Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana, 2006),12.
[3] “Konsep ekonomi islam”,dalam  http://repository.binus.ac.id/ content/J0024/ J002468177.ppt (18 oktober 2010)
[4] Dawam Rahardjo, Etika Ekonomi dan Manajemen (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1990), 121.
[5] Adiwarman A. Karim ,“Ekonomi Islam :Suatu Kajian Ekonomi Mikro”,dalam http:// djokoyuniarto.tripod.com/1-7 _mikroislam.htm  (17 oktober 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar