Jumat, 26 Juni 2009

Ijtihad dan Mujtahid


                                                                              BAB I
                                                                    PENDAHULUAN
  
A.Latar Belakang Masalah
Warisan islam yang bisa di pelajari untuk di kembangkan dan di jadikan acuan lagi umatnya kini ada dua, yaitu ajaran yang tertuang dalam Al-qur’an dan As-sunnah, serta fakta-fakta sejarah pelaksanaan ajaran tersebut dalam tatanan kehidupan umat manusia sejak zaman salaf sampai periode modern.
Kajian terhadap ajaran-ajaran Al-qur’an dan As-sunnah akan melahirkan rangkaian pemikiran teoritis, sementaran telah terhadap sejarah akan memperkaya informasi fiktual tentang dinamika masa lalu. Oleh sebab itu, kajian terhadap islam harus di imbangi dengan kajian sejarah tentang pengaruh ajaran tersebut terhadap masyarakat di masa lalu, sehingga tidak terjadi pengulangan sejarah di masa kini, bahkan lebih jauh, tokoh-tokoh cendekiawannya dapat melahirkan rumusan-rumusan pemikiran dengan bijaksana dalam menatap kenyataan-kenyataan sosial.  

B.Rumuan Masalah
1.Apa pengertian ijtihad ?
2.Apa dasar hukum dan macam-macamnya ?
3.Apa saja syarat-syarat ijtihad ?
4.Apa hukum melakukan ijtihad ?
5.Apa peringkat mujtahid ?
6.Apa saja hal-hal yang telah di jadikan objek ijtihad ?
7.Bagaimana peranan ijtihad dalam pengembangan hukum islam ?
8.Bagaimana sejarah perkembangan ijtihad ?




BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian Ijtihad dan Mujtahid
  Secara etimologi, ijtihad adalah kesanggupan dan kemampuan. Dengan kata lain, ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’. Sedangkan mujtahid adalah orang yang melakukan ijtihad (yang berijtihad).
  Upaya pencarian ketentuan hukum tertentu terhadap masalah-masalah baru itu di lakukan pemuka sahabat dengan tahapan pertama, mencari hukum dari Al-qur’an dan apabila belum di lakukan, maka mencarinya dalam Al-hadits. Apabila masalah itu tidak di temukan dalam hadits tersebut, baru melakukan ijtihad.

B.Dasar Hukum dan Macam-Macam Ijithad
Yang menjadi landasan di bolehkannya ijtihad banyak sekali, di antaranya : 
1.Firman Allah SWT :




Artinya :”Sesungguhnya kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukum di antara manusia dengan apa yang Allah mengetahi kepadamu.”
2.Dari sunnah, yang membolehkan ijtihad : 



Artinya : “Jika seorang hakim menghukum sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua, dan bila salah maka ia mendapat satu pahala.”
Sedangkan macam-macam ijtihad menurut Dr. Dawalibi yang sesuai dengan pendapat Asy-syatibi dalam kitab Al-Muwafakat, yaitu :
a.Ijtihad Al-Batani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum–hukum syara’ dari nash
b.Ijtihad Al-Qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-qur’an dan sunnah dengan menggunakan metode qiyas.
c.Ijtihad Al-istishlah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam 
Al-qur’an dan sunnah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah.
Sedangkan menurut Muhammad Jaziyu Al-hakim, ijtihad di bagi menjadi dua bagian, yaitu :
1.Ijtihad Al-aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya di dasarkan pada akal tidak menngunakan dalil syara’. Misalnya, menjaga kemadharatan, hukuman itu jelek bila tidak di sertai penjelasan dll.
2.Ijtihad Syari’, yaitu ijtihad yang di dasarkan pada syara’ termasuk dalam pembagian ini adalah ijma’, qiyas, istishlah dll.

C.Syarat-Syarat Ijtihad
Syarat yang harus di miliki oleh seorang mujtahid adalah :
a.Menguasai dan mengerti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-qur’an. Akan tetapi tidak di syaratkan untuk menghafalkannya, cukup mengetahui letak-letaknya saja.
b.Menguasai dan mengetahui hadits-hadits tentang hukum.
Sedangkan menurut At-taftaji, syaratnya adalah : 
a.Mengetahui naskh dan mansukh dari Al-qur’an dan As-sunnah supaya tidak salah dalam menetapkan hukum., namun tidak di syaratkan harus menghafalnya.
b.Mengetahui permasalahan yang sudah di tetapkan melalui ijma’ ulama’.
c.Mengetahui qiyas dan persyaratannya serta mengistinbathkannya.
d.Mengetahui bahasa arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa serta berbagai problematika.
e.Mengetahui ilmu ushul fiqih yang merupakan pondasi dalam ijtihad.
f.Mengetahui tujuan syari’at secara umum.

D.Hukum Melakukan Ijtihad
Ada lima hukum, yaitu :
1.Fardhu ‘ain, apabila ada permasalahan yang menimpa dirinya dan harus mengamalkan hasil ijtihadnya dan tidak boleh taqlid kepada orang lain.
2.Fardhu ‘ain, apabila di tanyakan tentang suatu permasalahan yang belum ada hukumnya, jika tidak segera di jawab maka khawatir terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum. 
3.Fardhu kifayah, permasalahan yang di ajukan kepadanya tidak di khawatirkan akan habis waktunya.
4.Sunnah, apabila berijtihad tehadap permasalahan yang baru, baik sifatnya atau tidak.
5.Haram, apabila berijtihad terhadap permasalahan yang baru sudah di tetapkan secara qathi’.

E.Peringkat Mujtahid
Menurut Imam Nawawi Ibnu Shalah, tingkatan para mujtahid terbagi dalam lima tingkatan :
a.Mujtahid Mustaqil
Adalah seorang mujtahid yang bebas menggunakan kaedah-kaedah yang ia buat sendiri.
b.Mujtahid Mutlaq Ghairu Mustaqil
Adalah orang yang memiliki kriteria seperti mujtahid mustaqil namun tidak menciptakan sendiri tetapi mengikuti metode salah satu madzab.
c.Mujtahid Muqayyad / Takhrij
Mujtahid yang terikat oleh madzab imamnya, memang di beri kebebasan dalam menentukan berbagai landasannya tetapi tidak boleh keluar dari kaedah-kaedah yang di pakai imamnya
d.Mujtahid Tarjih 
Adalah mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takhrij.
e.Mujtahid fatwa
Adalah orang yang hafal dan faham terhadap kaedah-kaedah imam madzab, mampu menguasai permasalahan yang sudah jelas, tetapi dia lemah dalam menetapkan suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam menetapkan qiyas.

F.Hal-Hal Yang Boleh di Jadikan Obyek Ijtihad
Tidak boleh melakukan ijtihad dalam masalah yang terdapat dalam nash yang jelas dan pasti. Jika kejadian yang hendak di ketahui hukum syar’inya itu telah di tunjukkan oleh dalil yang jelas dan petunjuk serta maknanya pasti, maka tidak ada peluang untuk ijtihad.
Yang wajib adalah melaksanakan pemahaman yang di tunjukkan nash karena selama dalil itu pasti datangnya, maka ketetapan dari Allah dan Rasulnya bukan menjadi obyek pembahasan.
Dalam firman Allah :


Artinya : “dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat’”
Setelah sunnah perbuatan nabi menjelaskan maksud dari sholat atau zakat, maka tidak ada peluang berijtihad dalam menjelaskan pengertian keduanya. Apabila kejadian yang hendak di ketahui hukumnya terhadap nash yang makna dan datangnya dugaan salan satunya saja, maka keduanya mempunyai peluang ijtihad karena mujtahid itu meneliti dalil dugaan datangnya dari sanad-nya. Cara sampainya kepada kita dari Rasulullah dan tingkat keaslian, kekuatan ingatan kepercayaan serta kejujuran para rawinya.
 Apabila ijtihad mujtahid mengenai sanad itu telah membuat dia percaya tentang periwayatan dan kejujuran rawinya, maka dia boleh berijtihad untuk mengetahui hukum yang di tunjukkan oleh dalil dan peristiwa yang di terapkan kepada hukum itu. Hal-hal yang di jadikan pedoman dalam ijtihadnya antara lain kaedah dasar dari segi bahasa, tujuan perundingan hukum syara’, dasar atau kaidah umum dan nash lain yang menjelaskan hukum. Dari sini ia dapat menyimpulkan apakah nash itu dapat di terapkan untuk kejadian ini atau tidak.

G.Peranan Ijtihad dalam Perkembangan Hukum Islam 
Ijtihad sebagaimana Wahlah Zuhaili katakan adalah nafasnya hukum islam,. Oleh karena itu, jika kegiatan ijtihad ini terhenti, maka hukum islam pun terhenti perkembangannya, sebaliknya jika kegiatan ijtihad itu terlalu dinamis, produk-produk hukumnya akan akan jauh lebih maju dari dinamika masyarakatnya.
Ada dua penyebab utama yang menuntut pembahasan hukum lewat kajian ijtihad, yaitu terdapatnya nash-nash yang dzhanni, baik di lihat dari sudut dilalahnya (nash-nash yang bermakna ganda) maupun dari sudut wurudnya (hadits nabi yang tidak mutawatir). Dan kedua, berkembangnya fenomena temporer yang senantiasa menuntut jawaban-jawaban yuridis dari para mujtahid dalam hukum islam.
Para ijtihad dalam hukum islam itu tiada lain adalah dalam rangka memberikan jawaban-jawaban hukum untuk berbagai persoalan temporer yang di hadapi para mujtahid, yang dapat di tempuh melelui dua corak ijtihad, yaitu ijtihad lafdzi dan aqli.
Dan adannya kontinuitas dalam pembahasan hukum lewat ijtihad, akan menjamin ketentuan-ketentuan hukum itu tetap actual dalam kehidupan masyarakat dan tidak tertinggal oleh dinamika kehidupan sosial, serta khazanah hukum islam akan semakin kaya.
H.Sejarah Perkembangan Ijtihad
Ijtihad itu di mulai sejak proses penetapan hukum itu di mulai, bahkan semenjak ajaran islam itu memasuki bidang “syari’ah” pada masa nabi di madinah, baik di lakukan nabi sendiri, maupun para sahabatnya. Namun produk-produk ijtihad nabi itu kemudian menjadi sunnah dan merupakan sumber hukum yang kuat setingkat dengan Al-qur’an.
Di bukanya peluang ijtihad oleh nabi kepada para sahabat itu mempunyai dampak positif, dengan adanya legalitas syar’i bagi para ulama’ pasca rosul untuk melakukan kajian hukum yang mendapat legalitas dan dapat di jadikan acuan dalam pengembangan lebih lanjut, sehingga pada masa sahabat setelah Rosulullah wafat kegiatan ini sangat hidup dengan tokoh-tokoh besar seperti : Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, Zaid bi Tsabit, Abdullah bin Mas’ud dan yang lain-lainnya.
 Kendati Abu Bakar telah melahirkan berbagai fatwa fiqih, tetapi yang paling berani dan bervariasi dalam berijtihad dari kalangan sahabat adalah Umar bin Khattab, secara umm Faruq Nabhan merumuskan bahwa metodologi kajian hukum Umar, meliputi :
1. Memahami nash dalam konteks maqasyid syari’ahnya.
2. Memahami nash sesuai dengan kemaslahatan umum.
3. memahami nash sesuai dengan dinamika masyarakat.
Contoh hasil ijtihad Umar, dia berfatwa bahwa rampasan perang berupa harta tidak bergerak seperti tanah, tidak harus di bagi-bagi kepada para prajurit perang, tapi harus tetap di serahkan kepada masyarakat daerah terhukum agar kemaslahatan mereka tetap terpelihara. Fatwa ini, dia keluarkan sehubungan dengan tuntutan para prajurit atas tanah subur yang baru mereka taklukkan.
Tradisi ini terus di kembangkan oleh para penerus mereka. Pada masa tabi’in ini di kenal beberapa tokoh besar, seperti Ibrahim An-Nakhai seorang fiqih islam, pada masa yang sama muncul seorang faqih besar di dataran Hijaz bernama Rabi’ah bin Abdul al-Rahman Furuh. Dia seorang faqih tabi’in yang bercorak rasionalis.
 Di samping dua ulama’ besar ini, masih banyak ulama’-ulama’ lain. Beliau tidak hanya berfatwa tapi juga menciptakan metode-metode baru dalam kajian hukum. Kemudian kajian hukumnya di kembangkan murid-muridnya. Dan masih banyak ulama’-ulama’ lain.
Abad ke-2 dan ke-3 H. merupakan puncak dari kegiatan ijtihad dalam bidang fiqih islam, pada masa inilah lahirnya para mujtahid mustaqil. Dan pada masa ini pulalah “ilmu ushul fiqih” mulai di rumuskan secara sistematis oleh Syafi’i dalam karyaanya Ar-risalah. Dan setelah ini nyaris tidak terlihat mujtahid-mujtahid mustaqil baru.





















   
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pengertian ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’. Dasar hukum di bolehkannya ijtihad, firman allah yang artinya “sesungguhnya kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukumi di antara manusia dengan apa yang allah mengetahui kepadamu.” 
Hukum melakukan ijtihad adalah :
1.Fardhu ‘ain : apabila ada permasalahan yang belum ada hukumnya, jika tidak segera di jawab khawatir terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum.
2.Fardhu kifayah : permasalah yang di ajukan tidak di khawatirkan akan habis waktunya.
3.Sunnah : berijtihad dalam permasalan yang baru, baik di Tanya atau tidak.
















  DAFTAR PUSTAKA 


Syafi’ie, Rahmat, 2007. Ilmu Ushul Fiqih, Bandung : Pustaka Setia
Rosyida, Dede, 1994. Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta : Grafindo Persada
Khalaf, Wahab, abdul. 2003. Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta : Pustaka Amri

   
   
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar