Jumat, 26 Juni 2009

Ijtihad dan Mujtahid


                                                                              BAB I
                                                                    PENDAHULUAN
  
A.Latar Belakang Masalah
Warisan islam yang bisa di pelajari untuk di kembangkan dan di jadikan acuan lagi umatnya kini ada dua, yaitu ajaran yang tertuang dalam Al-qur’an dan As-sunnah, serta fakta-fakta sejarah pelaksanaan ajaran tersebut dalam tatanan kehidupan umat manusia sejak zaman salaf sampai periode modern.
Kajian terhadap ajaran-ajaran Al-qur’an dan As-sunnah akan melahirkan rangkaian pemikiran teoritis, sementaran telah terhadap sejarah akan memperkaya informasi fiktual tentang dinamika masa lalu. Oleh sebab itu, kajian terhadap islam harus di imbangi dengan kajian sejarah tentang pengaruh ajaran tersebut terhadap masyarakat di masa lalu, sehingga tidak terjadi pengulangan sejarah di masa kini, bahkan lebih jauh, tokoh-tokoh cendekiawannya dapat melahirkan rumusan-rumusan pemikiran dengan bijaksana dalam menatap kenyataan-kenyataan sosial.  

B.Rumuan Masalah
1.Apa pengertian ijtihad ?
2.Apa dasar hukum dan macam-macamnya ?
3.Apa saja syarat-syarat ijtihad ?
4.Apa hukum melakukan ijtihad ?
5.Apa peringkat mujtahid ?
6.Apa saja hal-hal yang telah di jadikan objek ijtihad ?
7.Bagaimana peranan ijtihad dalam pengembangan hukum islam ?
8.Bagaimana sejarah perkembangan ijtihad ?




BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian Ijtihad dan Mujtahid
  Secara etimologi, ijtihad adalah kesanggupan dan kemampuan. Dengan kata lain, ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’. Sedangkan mujtahid adalah orang yang melakukan ijtihad (yang berijtihad).
  Upaya pencarian ketentuan hukum tertentu terhadap masalah-masalah baru itu di lakukan pemuka sahabat dengan tahapan pertama, mencari hukum dari Al-qur’an dan apabila belum di lakukan, maka mencarinya dalam Al-hadits. Apabila masalah itu tidak di temukan dalam hadits tersebut, baru melakukan ijtihad.

B.Dasar Hukum dan Macam-Macam Ijithad
Yang menjadi landasan di bolehkannya ijtihad banyak sekali, di antaranya : 
1.Firman Allah SWT :




Artinya :”Sesungguhnya kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukum di antara manusia dengan apa yang Allah mengetahi kepadamu.”
2.Dari sunnah, yang membolehkan ijtihad : 



Artinya : “Jika seorang hakim menghukum sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua, dan bila salah maka ia mendapat satu pahala.”
Sedangkan macam-macam ijtihad menurut Dr. Dawalibi yang sesuai dengan pendapat Asy-syatibi dalam kitab Al-Muwafakat, yaitu :
a.Ijtihad Al-Batani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum–hukum syara’ dari nash
b.Ijtihad Al-Qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-qur’an dan sunnah dengan menggunakan metode qiyas.
c.Ijtihad Al-istishlah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam 
Al-qur’an dan sunnah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah.
Sedangkan menurut Muhammad Jaziyu Al-hakim, ijtihad di bagi menjadi dua bagian, yaitu :
1.Ijtihad Al-aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya di dasarkan pada akal tidak menngunakan dalil syara’. Misalnya, menjaga kemadharatan, hukuman itu jelek bila tidak di sertai penjelasan dll.
2.Ijtihad Syari’, yaitu ijtihad yang di dasarkan pada syara’ termasuk dalam pembagian ini adalah ijma’, qiyas, istishlah dll.

C.Syarat-Syarat Ijtihad
Syarat yang harus di miliki oleh seorang mujtahid adalah :
a.Menguasai dan mengerti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-qur’an. Akan tetapi tidak di syaratkan untuk menghafalkannya, cukup mengetahui letak-letaknya saja.
b.Menguasai dan mengetahui hadits-hadits tentang hukum.
Sedangkan menurut At-taftaji, syaratnya adalah : 
a.Mengetahui naskh dan mansukh dari Al-qur’an dan As-sunnah supaya tidak salah dalam menetapkan hukum., namun tidak di syaratkan harus menghafalnya.
b.Mengetahui permasalahan yang sudah di tetapkan melalui ijma’ ulama’.
c.Mengetahui qiyas dan persyaratannya serta mengistinbathkannya.
d.Mengetahui bahasa arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa serta berbagai problematika.
e.Mengetahui ilmu ushul fiqih yang merupakan pondasi dalam ijtihad.
f.Mengetahui tujuan syari’at secara umum.

D.Hukum Melakukan Ijtihad
Ada lima hukum, yaitu :
1.Fardhu ‘ain, apabila ada permasalahan yang menimpa dirinya dan harus mengamalkan hasil ijtihadnya dan tidak boleh taqlid kepada orang lain.
2.Fardhu ‘ain, apabila di tanyakan tentang suatu permasalahan yang belum ada hukumnya, jika tidak segera di jawab maka khawatir terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum. 
3.Fardhu kifayah, permasalahan yang di ajukan kepadanya tidak di khawatirkan akan habis waktunya.
4.Sunnah, apabila berijtihad tehadap permasalahan yang baru, baik sifatnya atau tidak.
5.Haram, apabila berijtihad terhadap permasalahan yang baru sudah di tetapkan secara qathi’.

E.Peringkat Mujtahid
Menurut Imam Nawawi Ibnu Shalah, tingkatan para mujtahid terbagi dalam lima tingkatan :
a.Mujtahid Mustaqil
Adalah seorang mujtahid yang bebas menggunakan kaedah-kaedah yang ia buat sendiri.
b.Mujtahid Mutlaq Ghairu Mustaqil
Adalah orang yang memiliki kriteria seperti mujtahid mustaqil namun tidak menciptakan sendiri tetapi mengikuti metode salah satu madzab.
c.Mujtahid Muqayyad / Takhrij
Mujtahid yang terikat oleh madzab imamnya, memang di beri kebebasan dalam menentukan berbagai landasannya tetapi tidak boleh keluar dari kaedah-kaedah yang di pakai imamnya
d.Mujtahid Tarjih 
Adalah mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takhrij.
e.Mujtahid fatwa
Adalah orang yang hafal dan faham terhadap kaedah-kaedah imam madzab, mampu menguasai permasalahan yang sudah jelas, tetapi dia lemah dalam menetapkan suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam menetapkan qiyas.

F.Hal-Hal Yang Boleh di Jadikan Obyek Ijtihad
Tidak boleh melakukan ijtihad dalam masalah yang terdapat dalam nash yang jelas dan pasti. Jika kejadian yang hendak di ketahui hukum syar’inya itu telah di tunjukkan oleh dalil yang jelas dan petunjuk serta maknanya pasti, maka tidak ada peluang untuk ijtihad.
Yang wajib adalah melaksanakan pemahaman yang di tunjukkan nash karena selama dalil itu pasti datangnya, maka ketetapan dari Allah dan Rasulnya bukan menjadi obyek pembahasan.
Dalam firman Allah :


Artinya : “dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat’”
Setelah sunnah perbuatan nabi menjelaskan maksud dari sholat atau zakat, maka tidak ada peluang berijtihad dalam menjelaskan pengertian keduanya. Apabila kejadian yang hendak di ketahui hukumnya terhadap nash yang makna dan datangnya dugaan salan satunya saja, maka keduanya mempunyai peluang ijtihad karena mujtahid itu meneliti dalil dugaan datangnya dari sanad-nya. Cara sampainya kepada kita dari Rasulullah dan tingkat keaslian, kekuatan ingatan kepercayaan serta kejujuran para rawinya.
 Apabila ijtihad mujtahid mengenai sanad itu telah membuat dia percaya tentang periwayatan dan kejujuran rawinya, maka dia boleh berijtihad untuk mengetahui hukum yang di tunjukkan oleh dalil dan peristiwa yang di terapkan kepada hukum itu. Hal-hal yang di jadikan pedoman dalam ijtihadnya antara lain kaedah dasar dari segi bahasa, tujuan perundingan hukum syara’, dasar atau kaidah umum dan nash lain yang menjelaskan hukum. Dari sini ia dapat menyimpulkan apakah nash itu dapat di terapkan untuk kejadian ini atau tidak.

G.Peranan Ijtihad dalam Perkembangan Hukum Islam 
Ijtihad sebagaimana Wahlah Zuhaili katakan adalah nafasnya hukum islam,. Oleh karena itu, jika kegiatan ijtihad ini terhenti, maka hukum islam pun terhenti perkembangannya, sebaliknya jika kegiatan ijtihad itu terlalu dinamis, produk-produk hukumnya akan akan jauh lebih maju dari dinamika masyarakatnya.
Ada dua penyebab utama yang menuntut pembahasan hukum lewat kajian ijtihad, yaitu terdapatnya nash-nash yang dzhanni, baik di lihat dari sudut dilalahnya (nash-nash yang bermakna ganda) maupun dari sudut wurudnya (hadits nabi yang tidak mutawatir). Dan kedua, berkembangnya fenomena temporer yang senantiasa menuntut jawaban-jawaban yuridis dari para mujtahid dalam hukum islam.
Para ijtihad dalam hukum islam itu tiada lain adalah dalam rangka memberikan jawaban-jawaban hukum untuk berbagai persoalan temporer yang di hadapi para mujtahid, yang dapat di tempuh melelui dua corak ijtihad, yaitu ijtihad lafdzi dan aqli.
Dan adannya kontinuitas dalam pembahasan hukum lewat ijtihad, akan menjamin ketentuan-ketentuan hukum itu tetap actual dalam kehidupan masyarakat dan tidak tertinggal oleh dinamika kehidupan sosial, serta khazanah hukum islam akan semakin kaya.
H.Sejarah Perkembangan Ijtihad
Ijtihad itu di mulai sejak proses penetapan hukum itu di mulai, bahkan semenjak ajaran islam itu memasuki bidang “syari’ah” pada masa nabi di madinah, baik di lakukan nabi sendiri, maupun para sahabatnya. Namun produk-produk ijtihad nabi itu kemudian menjadi sunnah dan merupakan sumber hukum yang kuat setingkat dengan Al-qur’an.
Di bukanya peluang ijtihad oleh nabi kepada para sahabat itu mempunyai dampak positif, dengan adanya legalitas syar’i bagi para ulama’ pasca rosul untuk melakukan kajian hukum yang mendapat legalitas dan dapat di jadikan acuan dalam pengembangan lebih lanjut, sehingga pada masa sahabat setelah Rosulullah wafat kegiatan ini sangat hidup dengan tokoh-tokoh besar seperti : Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, Zaid bi Tsabit, Abdullah bin Mas’ud dan yang lain-lainnya.
 Kendati Abu Bakar telah melahirkan berbagai fatwa fiqih, tetapi yang paling berani dan bervariasi dalam berijtihad dari kalangan sahabat adalah Umar bin Khattab, secara umm Faruq Nabhan merumuskan bahwa metodologi kajian hukum Umar, meliputi :
1. Memahami nash dalam konteks maqasyid syari’ahnya.
2. Memahami nash sesuai dengan kemaslahatan umum.
3. memahami nash sesuai dengan dinamika masyarakat.
Contoh hasil ijtihad Umar, dia berfatwa bahwa rampasan perang berupa harta tidak bergerak seperti tanah, tidak harus di bagi-bagi kepada para prajurit perang, tapi harus tetap di serahkan kepada masyarakat daerah terhukum agar kemaslahatan mereka tetap terpelihara. Fatwa ini, dia keluarkan sehubungan dengan tuntutan para prajurit atas tanah subur yang baru mereka taklukkan.
Tradisi ini terus di kembangkan oleh para penerus mereka. Pada masa tabi’in ini di kenal beberapa tokoh besar, seperti Ibrahim An-Nakhai seorang fiqih islam, pada masa yang sama muncul seorang faqih besar di dataran Hijaz bernama Rabi’ah bin Abdul al-Rahman Furuh. Dia seorang faqih tabi’in yang bercorak rasionalis.
 Di samping dua ulama’ besar ini, masih banyak ulama’-ulama’ lain. Beliau tidak hanya berfatwa tapi juga menciptakan metode-metode baru dalam kajian hukum. Kemudian kajian hukumnya di kembangkan murid-muridnya. Dan masih banyak ulama’-ulama’ lain.
Abad ke-2 dan ke-3 H. merupakan puncak dari kegiatan ijtihad dalam bidang fiqih islam, pada masa inilah lahirnya para mujtahid mustaqil. Dan pada masa ini pulalah “ilmu ushul fiqih” mulai di rumuskan secara sistematis oleh Syafi’i dalam karyaanya Ar-risalah. Dan setelah ini nyaris tidak terlihat mujtahid-mujtahid mustaqil baru.





















   
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pengertian ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’. Dasar hukum di bolehkannya ijtihad, firman allah yang artinya “sesungguhnya kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukumi di antara manusia dengan apa yang allah mengetahui kepadamu.” 
Hukum melakukan ijtihad adalah :
1.Fardhu ‘ain : apabila ada permasalahan yang belum ada hukumnya, jika tidak segera di jawab khawatir terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum.
2.Fardhu kifayah : permasalah yang di ajukan tidak di khawatirkan akan habis waktunya.
3.Sunnah : berijtihad dalam permasalan yang baru, baik di Tanya atau tidak.
















  DAFTAR PUSTAKA 


Syafi’ie, Rahmat, 2007. Ilmu Ushul Fiqih, Bandung : Pustaka Setia
Rosyida, Dede, 1994. Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta : Grafindo Persada
Khalaf, Wahab, abdul. 2003. Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta : Pustaka Amri

   
   
   

riba


  BAB II
  PEMBAHASAN

  A. Pengertian Riba
  Menurut etimologi, riba berarti (tambahan), seperti arti kata riba pada ayat :


  Artinya : “Kemudian apabila kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah.”  
  (QS. Al-Hajj :5)

  Menurut terminologi, ulama’ fiqih mendefinsikan berikut ini 
  1. Ulama’ hanabilah

   
  Artinya : “Pertambahan sesuatu yang di khususkan.”
  2. Ulama’ Hanafiyah


Artinya : “Tambahan pada harta pengganti dalam pertukaran harta dengan  
  Harta.”
   
  Berkata pengarang Tafsir Al-Manar (Syekh Muhammad Abduh), “Allah telah menghalalkan untuk mengambil keuntungan dalam bejual beli dan melarang riba, yaitu penambahan yang di syaratkan oleh si pemilik harta kepada peminjam karena pengunduran pembayarannya dari waktu yang di tentukan.”1 
  Berkata pula pengarang Tafsir Al-Khazin, “Sebagian ulama’ telah menyatakan pebedaan antrara jual beli riba. Kata mereka , “bila seseorang menjual sehelai kain, yang pokoknya Rp. 10.000 dengan harga Rp. 20.000 yang menjadi imbangan uang yang Rp. 20.000 itu ialah kain itu, bukan hara\ga pokok semula. Kalau kedua pihak sama-sama rela tentang imbangan itu, jadilah tiap-tiap dari keluarga (sehelai kain dan uang yang Rp. 20.000 imbangan yang lain. Dalam hal ini tidak berarti mengambil hak temannya tanpa ada takarannya, imbangannya). Adapun bila seseorang menjual uang seharga Rp. 10.000 dengan uang seharga Rp. 20.000 baik secara tunai maupun di cicil, ia telah mengambil hak saudaranya itu secara berlebihan, yaitu seharga Rp. 10.000. dan tidaklah mungkin di katakana bahwa imbangan uang Rp. 10.000 yang lebih itu sebagai pengganti waktu yang di janjikan itu (kalau tukarannya di bayar lain waktu), sebab waktu yang di tangguhkan itu bukan uang, bukan harta, atau sesuatu yang menunjukkan keduanya.
  Dengan demikian, jelaslah bahwa uang Rp. 10.000,- yang lebih adalah riba (Tafsir Al-Khazin).
   
  B. Dalil Keharaman Riba
  Riba di haramkan berdasarkan Al-qur’an, sunnah dan ijma’ :
  1.Al-qur’an


  Artinya : “Alah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
  (QS. Al-Baqarah : 275)
  2. As-sunnah









  Artinya : “Abu Hurairah r.a. berkata bahwa nabi Muhammad SAW. bersabda, ‘Tinggalkanlah tujuh dosa besar yang dapat membinasakan.’ Sahabat bertanya, ‘Apakah itu , ya Rasulullah?’ Jawab Nabi, (1) Syirik (mempersekutukan Allah); (2) Bebrbuat sihir (tenung); (3) Membunuh jiwa yang di haramkan Allah, keuali yang hak; (4) Makan harta riba; (5) Makan harta anak yatim; (6) Melarikan diri dari perang jihad pada saat berjuang; dan (7) Menuduh wanita mukminat yang sopan (berkeluarga) dengan tuduhan zina.”

  3. Ijma’
  Seluruh ulama’ sepakat bahwa riba di haramkan dalam islam.

  C. Macam-Macam Riba
  Riba terdiri dari atas dua macam, yaitu :
  1. Riba Nasi’ah
  Yaitu melebihkan pembayaran barang yang di pertukarkan, di perjualbelikan, atau di utangkan karena di ta’khirkan waktu bayarannya, baik sama jenisnya atau tidak.2
  Menurut ulama’ Hanafiyah,3 riba nasi’ah adalah : 





   

Artinya : “Memberikan kelebihan terhadap pembayaran dari yang di tangguhkan, memberikan kelebihan pada benda di banding utang pada benda yang di takar atau di timbang yang berbeda jenis atau selain dengan yang di takar dan di timbang yang sama jenisnya.”
  
  Maksudnya, menjual barang dengan sejenisnya, tetapi yang satu lebih banyak, dengan pembayaran di akhirkan, seperti menjual satu kilogram gandum dengan satu setengah kilogram gandum, yang di bayarkan setelah dua bulan. Contoh jual beli yang tidak di timbang, seperti membeli satu buah semangka dengan dua buah semangka yang akan di bayar setelah dua bulan.
  Ibn Abbas, Usamah Ibn Jaid Ibn Arqam, Jubair, Ibn Jabir, dan lain-lain berpenapat bahwa riba yang di haramkan hanyalah riba nasi’ah. Pendapat ini di dasarkan pada hadits yang di riwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah SAW. besabda :


  Artinya : “Tidak ada riba kecuali pada riba nasi’ah.”

  2. Riba Fadhl
  Yaitu berlebih salah satu dari dua prtukaran yang di perjual belikan kalau barang yang di perjual belikan itu sejenis timbangannya pada barang yang di takar, atau ukurunnya pada barang yang di ukur.
  Menurut ulama’ Hanafiyah, riba fadhl adalah : 


  Artinya : “Tambahan zat harta pada akad jual beli yang di ukur dan sejenis.”
   
  Dengan kata lain, riba fadhl adalah jual beli yang mengandung umsur riba pada barang sejenis dengan adanya tambahan pada salah satu benda tersebut.4
  Oleh karena itu, jika melaksanakan akad jual beli antarbarang yang sejenis, tidak boleh di lebihkan salah satunya agar terhindar dari unsure riba.

  D. Pendapat Ulama’ Tentang ‘Illat Riba
   
   





   

 
   
   


Kamis, 25 Juni 2009

iad/ibd/isd


PANDANGAN HIDUP, TANGGUNG JAWAB DAN HARAPAN

A. Pandangan Hidup

1. Arti Pandangan Hidup
 
Pandangan hidup merupakan suatu dasar atau landasan untuk membimbing kehidupan jasmani atau rohani.dan pandangan hidup bisa disebut sebagai dengan filsafah hidu. Yang berarti cinta akan kebenaran, sedangkan kebenaran bisa dicapai oleh siapa saja. Hal inilah yang mengakibatkan pandangan hidup itu perlu dimiliki oleh semua orang dan semua golongan. Setiap orang memiliki pandangan hidup yang berbeda-beda,maka timbulah pandangan hidup yang dapat dikelompok-kelompokkan, disebut aliran atau faham. Sebagai contoh orang yang mengutamakan kepentingan umum atau masyarakat menimbulkan faham sosialisme.
Berdasarkan nilai hidupnya, Eduard Spanger membagi manusia dalam enam tipe, yaitu mausia ekonomi, politik,sosial, pengetahuan,seni, dan agama. Manusia ekonomi adalah orang yang suka bekerja, suka mengumpulkan harta, bersifat agak kikir, dan perhitungan (homo economicus).
Pandangan hidup seseorang yang teguh merupakan pelindung seseorang. Dengan memegang teguh pandangan hidup yang diyakini, seseorang tidak tidak akan bertindak sesuka hatinya. Ia tidak akan gegabah bila menghadapi masalah,hambatan, tantangan, dan gangguan, serta kesulitan yang dihadapinya.
Biasanya orang akan selalu ingat,taat, kepada sang pencipta bila dirundung kesusahan. Namun apabila sedang dalam keadaan senang, bahagia, serta kecukupan, mereka lupa akan pangdangan hidup yang diikutinya, berkurangnya rasa pengabdianya kepada sang pencipta. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor,antara lain:
1kurangnya penghayatan pandangan hidup yang diyakini
2kurangnya keyakinan pandangan hidupnya.
3Kurang memahami nilai dan tuntutan yang terkandung dalam pandangan hidupnya.
4Kurang mampu mengatasi keadan sehingga lupa pada tuntutan hidup yang ada dalam pandangan hidunya.
5Atau sengaja melupakannya demi kebutuhan diri sendiri.
2. Cita-Cita
pandangan hidup terdiri atas cita-cita,bebajikan, dan sikap hidup yang tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan manusia.dalam hidupnya manusia tidak bisa melepaskan diri dari cita-cita, kebajikan sikap hidup itu. Cita-cita tidaklah sama dengan pandnagan hidup, sekalipun demikian,cita-cita erat sekali kaitanya dengan pandangan hidup. Pandangan hidup merupakan bagian dari hidup manusia yang dapat mencerminkan citra inndividu maupun masyarakat. Selain itu mencerminkan cita-cita atau ispirasi seseorang atau kelompok da mansyarakat.
Cita-cita adalah perasaan hati atau sesuatu keinginan didalam hati, seringkali diartikan sebagai angan-angan,keingina, kemauan, niat, dan harapan. Cita-cita penting bagi manusia,karena adanya cita-cita menandakan kedinamikan seseoarang.
3. Kebajikan
kebajikan (kebaikan) atau perbuatan yang mendatangkan kebaika pada hakikatnya sama dengan perbuatan moral, perbuatan yang sesuai dengan norma-norma agama dan etika. kebajikan adalah perbuatan yang selaras dengan suara hati kita, suara hati masyarakat, dan hukum tuhan. kebajikan berarti berkata sopan, santun, berbahasa baik, bertingkah laku baik, ramah tamah tehadap siapapun, dan berpakaian sopan
4. Sikap hidup
Sikap hidup adalah hati dalam menghadapi hidup ini. Dan sikap hidup itu ada dua yaitu sikap negatif dan sikap positif. Sikap positif bisa disebut dengan sikap etis, dan sikap etis tersebut yaitu: sikap lincah, sikap tenang, sikap halus, sikap berani, sikap arif, sikap rendah diri, dan sikap bangga. Sedangkan sikap negatif bisa disebut juga sebagai sifat nonetis yaitusikap kaku, siakp kasar, sikap takut, sikap angkuh, sikap gugup, dan sikap rendah diri.
5. Etika
Etika dalam bahasa indonesia berasal dari kata yunani ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Hampir sama dengan pengertian moral yang berarti cara hidup atau adat. Etika dipergunakan dalam suatu mengkaji atau sistem nilai yang ada, misalnya etika tiu sesuai atau tidak dengan norma yang berlaku. Sedangkan moral digunakan untuk perbuatan yang sedang dinilai.istlah etika sering digunakan dalam masyarakat adalah susila atau akhlak. Etika adalah ilmu tentang kesusilaan yang menentukan bagaimana sebaiknya hidup di dalam masyarakat.
B. Tanggung Jawab

Arti Tanggung Jawab
Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatanya, yang termasuk juga berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajiban.
Macam-Macam Tanggung Jawab
a. Tanggung jawab kepada keluarga.
b. Tanggung jawab kepada masyarakat.
c. Tanggung jawab kepada bangsa/negara.
d. Tangguang jawab kepada tuhan.
Pengabdian
pengabdian adalah perbuatan baik berupa ikiran, pendapat ataupun tenaga sebagai perwujudan kesetiaan. Timbulnya pengabdian itu hakikatnya adalah rasa tanggung jawab dan pengabdian itu terbagi antara lain:
a. pengabdian kepada keluarga
b. pengabdian kepada masyarakat
c. pengabdian kepada negara.
d. pengabdian kepada tuhan.
Kesadaran
kesadaran adalah hati atau pikiran yang telah tebuka atau tentang apa yang telah dikerjakan.maksudnya adalah keinsafan akan suatu perbuatan. Kesadaran moral sangat penting karena pelanggaran moral dapat merusak norma. Oleh sebab itu kesadaran perlu dijaga oleh setiap individu. Hal ini tidak berarti bahwa kesadaran lain tidak penting. Semua kesadaran penting, karena ketidaksadaran adalah salah satu hal yang dapat menggoncangkan atau sekurang-kurangnya membuat kepincangan dalam hidup.
Pengorbanan
Pengorbanan berasal dari kata korban, artinya memberikan secara ikhlas, harta, benda, waktu, tenaga, pikiran, bahjan mungkin nyawa, demi cintanya atau ikatannyadengan sesuatu atau demi kesetiaan, kebenaran. Perbedaan antara pengertian pengabdian dan pengorbanan tidak begitu jelas. Karena ada pengabdian berarti ada pengorbanan. Makna pengabdian lebih rendah tingkatanya dibanding pengorbanan.pngorbanan merupakan akibar dari pengabdian. Pengorbanan yang dapat berupa benda, pikiran, perasaan, bahkan dapat juga berupa jiwa. Pengorbanan juga terbagi antara lain:
1a. pengorbanan kepada keluarga
2b. pengorbanan kepada masyarakat.
3c. pengorbanan kepada bangsa dan negara.
4d. pengorbanan karena kebenaran.
5e. pengorbanan kepada agama.
C. Harapan
Arti Harapan
harapan berasal dari kata harap yang artinya keinginan supaya sesuatu terjadi. Yang mempunyai harapan atau keinginan itu hati. Putus harapan berarti putus asa. Harapan berarti keinginan yang belum terwujud.
Abraham Maslow mengategorikan kebutuhan manusia menjadi lima macam, yaitu:
1harapan untuk memperoleh kelangsungan hidup(sulvival)
2harapan untuk memperoleh keamanan(savety)
3harapan untuk memiliki hak dan kewajiban untuk mencintai dan dicintai (beloving and love)
4harapan memperoleh status atau untuk diterima atau diakui lingkungan 
5harapan untuk memperoleh perwujudan cita-cita(self actualization)
Kepercayan
kepercayaan berasal dari kata percaya, artinya mengakui atau menyakini akan kebenaran. Kepercayaan adalah hal-hal yang berhubungan dengan pengakuan atau keyakinan akan kebenaran.dasar kepercayaan 
Manusia Dan Harapan
Harapan Terakhir


Kesimpulan
Manusia dan Pandangan Hidup 
            Dengan memiliki pandangan hidup (konsepsi tentang kehidupannya) maka manusia merasa mempunyai peta dan rencana untuk mengarahkan kehidupannya agar lebih berarti. Hal itu tergantung dari pandangan ekonomi yang dimilikinya apakah menganut Kapitalisme ataukah Sosialisme yang nantinya memunculkan juga manusia yang cenderung ingin mempunyai kekuasaan, bermasyarakat, berpengetahuan dan memiliki rasa berkesenian dan beragama.
            Pandangan hidup akan berhubungan dengan cita-cita seseorang dimana cita-cita harus diiringi juga dengan kualitas, kemampuan dan tinggi-rendahnya cita-cita dari manusia tersebut.
            Untuk menggapai cita-cita harus diiringi juga dengan kebajikan maupun etika dimana hal tersebut tergantung dari bentuk masyarakatnya.
Manusia Dan Tanggung Jawab 
Tanggung jawab adalah sifat terpuji yang mendasar dalam diri manusia. Selaras dengan fitrah. Tapi bisa juga tergeser oleh faktor eksternal. Setiap individu memiliki sifat ini. Ia akan semakin membaik bila kepribadian orang tersebut semakin meningkat. Ia akan selalu ada dalam diri manusia karena pada dasarnya setiap insan tidak bisa melepaskan diri dari kehidupan sekitar yang menunutut kepedulian dan tanggung jawab. Inilah yang menyebabkan frekwensi tanggung jawab masing-masing individu berbeda. 
Tanggung jawab mempunyai kaitan yang sangat erat dengan perasaan. 
 Manusia dan Harapan
Manusia dan Harapan Harapan dapat diartikan sebagai menginginkan sesuatu yang dipercayai dan dianggap benar dan jujur oleh setiap manusia sehingga bisa menjadi miliknya. Dalam hal ini, seorang manusia dan harapannya agar dapat dicapai, memerlukan kepercayaan kepada diri sendiri, kepercayaan kepada orang lain dan kepercayaan kepada Tuhan. Kepercayaan kepada diri sendiri dapat ditimbulkan dengan mulai memiliki konsepsi diri yang positif baik itu melalui fisik, cara berpikir dan jiwa yang akan membantu dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain ataupun bersosialisasi dengan orang lain sehingga terjalin secara positif dan berkesan dengan baik sehingga apa yang diharapkan dapat terwujud. Adapun kepercayaan kepada orang lain bisa ditimbulkan dengan merasa pantang untuk melakukan kebodohan dan kecurangan ataupun perilaku korupsi sehingga orang lain merasa percaya dalam membebankan apa yang diamanatkannya dan itu merupakan sesuatu yang kita harapkan. Hal tersebut bisa disebut dengan relationship.